
QUEENNE.WS.CO.ID Halmahera Selatan – Kasus dugaan kekerasan terhadap perempuan kembali mencuat di Desa Tomori, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Seorang perempuan berinisial S.W., asal Tondano, Sulawesi Utara, menjadi korban penganiayaan oleh Dion, pria asal Surabaya yang dikenal sebagai pembeli batu Bacan. Tragisnya, setelah lebih dari dua bulan sejak laporan resmi dilayangkan ke pihak kepolisian, belum ada tindakan hukum nyata terhadap pelaku.
Peristiwa terjadi pada Jumat, 23 Mei 2025 sekitar pukul 10.30 WIT, di sebuah kamar kos di kawasan Tomori. S.W. datang ke tempat tinggal sementara Dion yang berlokasi tak jauh dari Kafe Rama Karaoke, tanpa menyangka bahwa dirinya akan menjadi korban kekerasan. Menurut penuturannya, kekerasan terjadi tiba-tiba.
“Saya baru datang, belum bicara apa-apa, langsung ditampar. Setelah itu saya dijepit di pintu kamar. Badan saya sakit dan saya syok berat,” ujar S.W. saat ditemui media.
Akibat kejadian tersebut, S.W. mengalami luka fisik dan trauma psikis. Ia kemudian melaporkan peristiwa ini ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Halmahera Selatan, dengan nomor laporan STPL/320/V/2025/SPKT, yang diterima dan ditangani oleh petugas KSPKT Aipda Muhln La Impi.
Namun setelah lebih dari dua bulan sejak laporan itu dibuat, belum ada satupun langkah tegas dari aparat. Tidak ada penetapan tersangka, tidak ada penahanan, bahkan perkembangan kasus ini pun tidak disampaikan secara terbuka. Pelaku masih bebas berkeliaran, sementara korban terus menanti keadilan.
“Saya sudah melapor, semua bukti saya kasih, tapi pelaku tetap tidak ditahan. Apa polisi tunggu saya jadi korban lagi baru mau bertindak?” kata S.W. dengan nada kecewa.
Desa Tomori dikenal sebagai kawasan yang ramai dengan aktivitas ekonomi nonformal. Perdagangan batu Bacan, tempat hiburan malam, dan kos-kosan menjadi ciri khas wilayah ini. Dengan banyaknya pendatang dan minimnya pengawasan, kondisi ini menjadikan perempuan di kawasan tersebut dalam posisi yang sangat rentan terhadap kekerasan.
Dari sisi hukum, kasus ini sangat jelas. Dugaan penganiayaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 351 KUHP membawa ancaman pidana penjara hingga dua tahun delapan bulan, dan bisa meningkat menjadi lima tahun jika menyebabkan luka berat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga mengatur kekerasan fisik, termasuk dalam relasi non-resmi seperti yang dialami S.W.
Sayangnya, hukum seolah kehilangan taring. Penegakan keadilan dalam kasus ini seperti digantung di ruang kosong. Proses penyidikan yang seharusnya cepat dan profesional justru terkesan ditunda tanpa alasan yang jelas.

Masyarakat mulai mempertanyakan kinerja Polres Halmahera Selatan. Laporan sudah masuk sejak Mei, tetapi hingga Juli belum ada perkembangan berarti. Ketika aparat yang seharusnya melindungi warga justru lamban, maka kepercayaan terhadap institusi kepolisian pun perlahan terkikis.
Kasus ini menjadi cermin nyata lemahnya respons terhadap kekerasan terhadap perempuan, khususnya di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat perhatian. Tidak ada tindakan, tidak ada kejelasan, hanya diam dan pembiaran.
Kini, publik menanti apakah Polres Halmahera Selatan akan menunjukkan keberpihakan pada keadilan, atau terus membiarkan kasus ini menjadi catatan gelap dalam arsip mereka. S.W. hanya satu dari banyak perempuan yang berani bersuara. Jika laporan seperti ini saja tak digubris, maka siapa lagi yang berani melapor?
“Saya hanya ingin keadilan. Saya minta hukum ditegakkan, jangan diam saja. Saya sudah cukup sakit, jangan tambah dengan ketidakadilan,” ucap S.W. penuh harap. Red