Bandarlampung, QueenNews.co.id — Aroma dugaan korupsi di sektor kehutanan Provinsi Lampung tak kunjung hilang.
Setelah diskusi terbuka pada 28 Mei lalu yang menghebohkan kalangan pegiat antikorupsi, Ketua LSM "Simulasi Cium Aroma Korupsi", Agung Irawansyah, kembali menggalang konsolidasi. Sabtu siang (31/5/2025), ia menginisiasi pertemuan lanjutan bersama sejumlah ketua LSM lain di basecamp Simulasi, Jalan Urip Sumoharjo, Bandarlampung.
Pertemuan ini membahas isu yang sama dengan diskusi sebelumnya, mulai dari dugaan manipulasi anggaran hingga pembiaran terhadap kerusakan kawasan hutan lindung.
Namun, pertemuan kali ini memiliki tujuan yang lebih strategis: membentuk barisan sipil yang tidak hanya bergerak melalui demonstrasi dan laporan ke aparat penegak hukum, tetapi juga membangun forum diskusi rutin untuk menilai arah kebijakan dan etika pemerintahan daerah.
"Sudah saatnya kita tidak hanya berteriak di depan kantor kejaksaan. Tapi duduk, menelaah, dan mengajak publik ikut berpikir. Diskusi adalah bentuk paling awal dari revolusi," ujar Agung.
Sorotan Tajam Terhadap 12 Kegiatan Bermasalah Dinas Kehutanan
Agung kembali menyoroti 12 kegiatan bermasalah dalam APBD Dinas Kehutanan tahun 2024. Ia membeberkan anggaran fiktif paket meeting senilai Rp81 juta, hingga pengadaan bibit tanaman Rp108 juta yang diduga tidak sampai ke kelompok tani. Biaya pemeliharaan kendaraan dinas pun dinilai tidak masuk akal: Rp259 juta untuk roda empat dan Rp642 juta untuk roda dua.
"Bagaimana bisa kendaraan roda dua menyedot biaya pemeliharaan sebesar itu? Ini angka-angka yang mengundang tanya," kata Agung sambil menunjukkan salinan data pengadaan.
Dugaan Praktik Korupsi dalam 12 Kegiatan Anggaran Dinas Kehutanan Provinsi Lampung TA 2024
Dugaan ini mencakup belanja dengan total nilai mencapai Rp1,5 miliar lebih, termasuk pengadaan bibit tanaman, pemeliharaan kendaraan dinas, hingga hibah barang yang dinilai tidak transparan.
Daftar Kegiatan Diduga KKN:
* Belanja Paket Meeting Forum OPD TA 2024 (Rp81 juta): Diduga markup hingga manipulasi pelaporan.
* Pemeliharaan Kendaraan Dinas:
* Roda empat: Rp259,14 juta
* Roda dua: Rp642,56 juta
LSM menilai anggaran ini tidak wajar karena melebihi standar biaya pemeliharaan kendaraan dinas.
* Pengadaan Bibit Tanaman (Rp108,768 juta via CV Mitra Citra Mandiri): Mirip kasus sebelumnya (2023) yang diusut BPK, di mana Dinas Kehutanan gagal membuktikan penyaluran bibit ke kelompok tani.
* Hibah Barang ke CV Bakti Nusa (Rp99,85 juta): Tidak ada klarifikasi resmi tentang penerima manfaat dan kesesuaian dengan peraturan hibah.
* Belanja Cetak dan Penggandaan:
* Total Rp130,832 juta untuk faksimili, internet, dan TV berlangganan.
* Cetak dokumen oleh Pratama Printing mencapai puluhan SPJ dengan nilai kumulatif signifikan (contoh: Rp17,1 juta untuk 5 SPJ bahan kantor).
Respons dan Kritik LSM:
LSM menyoroti pola pengeluaran yang tidak proporsional, seperti pemusatan vendor (Pratama Printing) untuk berbagai proyek kecil yang berpotensi "mark-up" atau pemecahan paket, manipulasi laporan, kecurangan pelaksanaan anggaran, serta ketidakjelasan pertanggungjawaban, terutama untuk hibah dan pengadaan bibit.
Inspektorat dan APIP Disebut "Satpam Tidur"
Pertemuan LSM juga menyoroti lemahnya fungsi Inspektorat Provinsi dan APIP. Mereka menyebut dua institusi itu sebagai "satpam yang tidur di depan pintu perampokan."
Pertemuan tersebut diikuti oleh perwakilan berbagai elemen sipil, termasuk mahasiswa, aktivis lingkungan, dan pemerhati kebijakan anggaran. Salah satu kesepakatan penting yang lahir adalah komitmen membentuk forum mingguan diskusi sipil mengenai tata kelola Pemerintah Provinsi Lampung, yang akan digelar setiap Sabtu. Forum ini tidak hanya akan membedah sektor kehutanan, tetapi juga seluruh kebijakan strategis, termasuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
"Forum ini bukan sekadar ruang obrolan. Ini panggung etis yang akan terus menyoroti arah langkah pemerintah. Kalau Gubernur muda tidak berani menata ulang tata kelola birokrasi, maka rakyat akan menagihnya tiap pekan," tegas Agung.
Di akhir pertemuan, muncul satu pesan yang menggema di antara peserta: "Otonomi daerah yang mandek, dan etos ASN yang menguap—bagaimana mungkin good governance bisa berdiri?"
Lampung, kata mereka, tidak butuh pemimpin populer, tetapi pemimpin yang berani memutus rantai lama: anggaran bocor, fungsi lembaga lumpuh, dan hutan ditinggalkan dalam sunyi. Kini, tinggal menunggu catur politik berputar: apakah sang Gubernur muda siap mengambil langkah penyelamatan?