Mantap ! Dari Sekolah Liar ke Scroll Tak Bermakna – Refleksi atas Warisan Ki Hajar Dewantara

Redaksi
0

.           Agrisal Abubakar Rano
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ..!

Ternate, provinsi Maluku Utara/Queen News.Co.Id /-Di masa perjuangan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara tidak hanya dikenal sebagai tokoh pendidikan, tetapi juga sebagai pembebas pikiran. Melalui sekolah partikel, sekolah liar, mimbar diskusi, dan lapak baca, beliau meretas batasan kolonial yang melarang rakyat untuk berpikir merdeka. Pendidikan baginya bukan sekadar ruang kelas, tapi ruang kesadaran.

Kini, di era teknologi digital, warisan itu perlahan memudar. Sekolah-sekolah memang berdiri megah, gadget tersebar di tangan generasi muda, dan akses informasi tersedia dalam satu klik. Namun, yang mengkhawatirkan bukan ketiadaan teknologi, tapi bagaimana teknologi dipakai untuk memutus hubungan manusia dengan tradisi berpikir kritis.

TikTok, YouTube, Facebook, Google—platform yang seolah menawarkan kebebasan berekspresi justru menjadi lorong sunyi yang menenggelamkan kesadaran. Bukan salah teknologinya, tapi bagaimana ia diarahkan. Negara, melalui regulasi yang tak sepenuhnya netral, justru mendorong masyarakat menuju konsumsi instan, menjauh dari buku, dan menumpulkan daya baca.

Inilah bentuk baru dari pembodohan: bukan dengan melarang, tapi dengan membanjiri. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan hiburan tak putus. Manusia dipisahkan dari akarnya, dijauhkan dari sejarah, dan ditidurkan lewat algoritma. Dan semua ini, diam-diam memperpanjang kemiskinan berpikir.

Regulasi negara seharusnya menjadi benteng terakhir kesadaran publik. Namun ketika negara bersekongkol dengan elite digital global, publik kehilangaJudul: Dari Sekolah Liar ke Scroll Tak Bermakna – Refleksi atas Warisan Ki Hajar Dewantara

Di masa perjuangan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara tidak hanya dikenal sebagai tokoh pendidikan, tetapi juga sebagai pembebas pikiran. Melalui sekolah partikel, sekolah liar, mimbar diskusi, dan lapak baca, beliau meretas batasan kolonial yang melarang rakyat untuk berpikir merdeka. Pendidikan baginya bukan sekadar ruang kelas, tapi ruang kesadaran.

Kini, di era teknologi digital, warisan itu perlahan memudar. Sekolah-sekolah memang berdiri megah, gadget tersebar di tangan generasi muda, dan akses informasi tersedia dalam satu klik. Namun, yang mengkhawatirkan bukan ketiadaan teknologi, tapi bagaimana teknologi dipakai untuk memutus hubungan manusia dengan tradisi berpikir kritis.

TikTok, YouTube, Facebook, Google—platform yang seolah menawarkan kebebasan berekspresi justru menjadi lorong sunyi yang menenggelamkan kesadaran. Bukan salah teknologinya, tapi bagaimana ia diarahkan. Negara, melalui regulasi yang tak sepenuhnya netral, justru mendorong masyarakat menuju konsumsi instan, menjauh dari buku, dan menumpulkan daya baca.

Inilah bentuk baru dari pembodohan: bukan dengan melarang, tapi dengan membanjiri. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan hiburan tak putus. Manusia dipisahkan dari akarnya, dijauhkan dari sejarah, dan ditidurkan lewat algoritma. Dan semua ini, diam-diam memperpanjang kemiskinan berpikir.
n pegangan. Literasi bergeser dari membaca buku menjadi menonton video pendek. Diskusi digantikan komentar singkat. Sekolah liar kini tergantikan oleh tren viral.

Kini, saatnya kita bertanya ulang: Di mana semangat Ki Hajar Dewantara di tengah algoritma? Apakah kita masih mampu melawan kebodohan yang dibungkus kecanggihan? Apakah kita masih bisa membangun "sekolah liar" versi hari ini—yang merdeka, membebaskan, dan menyadarkan?

Perlawanan tidak selalu dengan senjata. Ia bisa hadir dalam bentuk lapak baca digital, mimbar diskusi komunitas, atau gerakan literasi akar rumput yang tak terikat algoritma. Karena di balik setiap scroll, ada pilihan: tenggelam atau melawan.

Dan bagi mereka yang sadar, perlawanan itu sudah dimulai.

Schol partikelir adalah istilah yang pernah digunakan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai kritik terhadap situasi pendidikan formal di masa kolonial Belanda (sekitar 1900–1920) Schol partikelir atau sekolah liar merujuk pada sekolah-sekolah yang berdiri di luar kendali pemerintah kolonial tidak diakui secara resmi oleh negara, tapi justru menjadi ruang penting bagi lahirnya kesadaran kritis

Sekolah liar bukan sekadar tempat belajar membaca atau menulis melainkan tempat untuk merumuskan ulang makna kemerdekaan Di sinilah rakyat diajak berpikir tentang bangsanya tentang kebebasan dan tentang hak untuk tidak tunduk pada sistem yang menindas

Kini di zaman digital bentuk penindasan itu tidak lagi hadir dalam wujud pelarangan belajar tetapi dalam bentuk yang lebih halus dan justru lebih berbahaya  banjir informasi hiburan tak berujung dan algoritma yang mengendalikan perhatian Teknologi telah menggantikan ruang belajar menjadi ruang scroll cepat instan namun hampa

Scroll demi scroll yang kita lakukan setiap hari bukan lagi sekadar aktivitas santai melainkan proses perlahan yang memutus hubungan kita dengan tradisi berpikir mendalam. Informasi memang melimpah tapi yang terjadi bukan pemahaman melainkan pelupaan Literasi berubah bentuk dari membaca buku menjadi menonton video pendek dari diskusi panjang menjadi komentar satu-dua kata yang tak bermakna

Inilah bentuk baru dari penjajahan algoritma menggantikan kurikulum. Bukan lagi guru yang membimbing arah belajar kita tapi sistem otomatis yang hanya mengejar klik durasi tontonan, dan keterikatan emosional sesaat. Negara, alih-alih menjadi pelindung kesadaran publik, justru sering kali tunduk atau bahkan ikut bermain dalam sistem ini mendorong masyarakat untuk tenggelam dalam konsumsi digital tanpa arah

Sekolah liar  yang dulu menjadi ruang tandingan terhadap kekuasaan kolonial kini digantikan oleh tren viral yang tak menyisakan ruang berpikir Kesadaran kritis terpinggirkan oleh algoritma yang menuntun kita untuk sibuk tapi tidak sadar

Namun, di tengah gelombang besar ini, harapan belum sepenuhnya padam. Di sudut-sudut kota, di pojok-pojok desa, masih ada guru-guru yang memilih melawan arus. Mereka tidak sekadar mengajar kurikulum, tetapi menyalakan kesadaran. Mereka tahu bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai rapor, tapi tentang keberanian berpikir, berpendapat, dan berdiri di atas kaki sendiri.

Gerakan literasi komunitas, forum belajar mandiri, kelas diskusi daring yang melampaui sekadar zoom meeting—semua ini adalah bentuk baru dari sekolah liar hari ini. Sekolah yang tidak tunduk pada algoritma. Sekolah yang tumbuh dari semangat berbagi, bukan semata mencari viewer atau likes.

Ki Hajar Dewantara tidak hanya mewariskan lembaga, tapi juga keberanian intelektual. Dan keberanian itu hari ini harus muncul kembali—dalam bentuk yang sesuai zamannya. Jika dulu beliau melawan penjajahan dengan mendirikan sekolah rakyat, maka hari ini kita melawan dominasi algoritma dengan menciptakan ruang-ruang digital yang membebaskan.

Karena esensi dari Tut Wuri Handayani bukan sekadar slogan pendidikan, melainkan semangat mendampingi generasi agar tetap berjalan di jalan kemerdekaan berpikir. Bukan menyeret mereka mengikuti tren, tapi membimbing mereka menembus kebisingan dan menemukan suara hatinya sendiri.

Kita mungkin tak bisa menghentikan banjir informasi, tapi kita bisa mengajarkan cara berenang. Kita mungkin tak bisa mengubah sistem dalam semalam, tapi kita bisa membangun kesadaran kolektif bahwa pendidikan sejati dimulai dari rasa ingin tahu, bukan dari keinginan viral.

Warisan Ki Hajar Dewantara bukan museum kenangan. Ia adalah obor yang harus terus menyala—diteruskan oleh siapapun yang percaya bahwa pendidikan adalah jalan sunyi menuju kemerdekaan sejati.
Hari Pendidikan Nasional yang setiap tahun kita peringati bukan sekadar ajang mengenang jasa tokoh. Ia harus menjadi momen reflektif—apakah kita benar-benar berjalan di jalan yang telah mereka buka? Apakah semangat merdeka dalam belajar masih hidup di tengah tumpukan konten digital?

Ki Hajar Dewantara pernah berkata:

> “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”



Hari ini, kita bisa menambahkan:
"Setiap klik bisa jadi pelajaran, jika kita tetap sadar."

Maka mari kita lawan penjajahan baru ini—bukan dengan menolak teknologi, tapi dengan menguasainya. Bukan dengan menjauh dari dunia digital, tapi dengan menciptakan ruang alternatif di dalamnya. Menulis, membaca, berdiskusi, dan berpikir panjang tetap bisa hidup—asal kita memilih untuk tidak diam.

Karena di zaman ini, menggulir layar dengan sadar adalah bentuk perlawanan.
Dan dalam tiap perlawanan kecil itu, warisan Ki Hajar Dewantara kembali bernapas

Bagaimana Kita Terlepas dari Belenggu Kebodohan?

Ki Hajar Dewantara tidak pernah mengajarkan bahwa kebodohan itu sekadar soal tidak bisa membaca atau menulis. Baginya, kebodohan adalah ketika manusia kehilangan keberanian berpikir, kehilangan daya juang, dan membiarkan dirinya diatur tanpa pertanyaan. Maka perjuangan melawan kebodohan bukan sekadar soal akses sekolah, tapi soal menyalakan kesadaran.

Di era ini, kebodohan punya wajah baru: pasif menerima apa pun yang disuguhkan layar, tidak lagi mempertanyakan kebenaran, dan merasa cukup dengan potongan informasi tanpa kedalaman. Lalu bagaimana kita terlepas darinya?

Pertama, dengan membangun kesadaran literasi digital. Bukan sekadar bisa memakai gawai, tapi bisa memilah informasi, mengkritisi narasi, dan mengenali arah yang ingin dibentuk oleh algoritma.

Kedua, dengan menghidupkan kembali tradisi membaca dan berdiskusi. Bukan membaca demi tugas, tapi membaca untuk memahami. Bukan berdiskusi untuk menang, tapi untuk mendengar dan memperluas perspektif.

Ketiga, dengan mengubah rumah menjadi sekolah, dan diri sendiri menjadi guru. Kita tidak harus menunggu kurikulum berubah atau sistem direformasi. Pendidikan sejati dimulai dari keberanian individu untuk belajar dan mengajar, bahkan di ruang sekecil apa pun.

Dan terakhir, dengan mewarisi keberanian Ki Hajar Dewantara—keberanian untuk berdiri di luar sistem, membangun yang alternatif, dan percaya bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk membebaskan manusia.

Tetaplah menjadi cahaya yang menuntun dalam kegelapan

Penulis : Agrisal Abubakar Rano
Ternate : Kamis,1/5/2025


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!