

Denpasar / QueenNews.co.id – Rabu, 18 Juni 2025, Insiden dugaan intervensi terhadap kebebasan pers kembali mencuat, kali ini melibatkan oknum dari Polda Bali dengan jurnalis media Investigasi.WartaGlobal.id Redaksi Bali.
Peristiwa ini bermula dari publikasi dua berita oleh media tersebut, masing-masing berjudul "Copot Kapolda Bali Tajen (Sambung Ayam) Desa Songan Memakan Korban Masyarakat Sajam Bebas Pulsa" dan "Listyo Sigit Saat Kunker DiBali Tidak Humanis Terhadap Wartawan Main Kabur Aja."
Seorang oknum Polda Bali berinisial IKE dilaporkan menghubungi pimpinan redaksi Investigasi.WartaGlobal.id setelah berita-berita tersebut tayang.
Melalui pesan singkat, IKE memperkenalkan diri dan kemudian meminta untuk berkomunikasi via telepon.
Dalam percakapan telepon, IKE diduga meluapkan ketidaksetujuannya terhadap isi pemberitaan yang dianggap menyudutkan institusi kepolisian.
Ia kemudian mengalihkan materi pembicaraan dengan melontarkan komentar yang dianggap merendahkan kerja jurnalistik dan menghina pimpinan redaksi.
"Bagaimana sih itu, Bu, tulisan seperti itu kok bisa lolos kontrol, apa tidak dikoreksi dulu tulisan-tulisan sebelum terbit? Isinya itu menyudutkan institusi kepolisian, Bu. Berita pertama seolah menyudutkan Kapolda dengan sebut Tajen, apa maksudnya? Berita yang kedua menyudutkan Kapolri. Ya Kapolri kan sibuklah, tidak bisa wartawan seenaknya mau ketemu dan berbicara, kan ada bagian humasnya dan lain-lain yang bisa dihubungi," ujar IKE, seperti dikutip dari pimpinan redaksi, Jakarta, 18 Juni 2025.
Melanni, selaku pimpinan redaksi Investigasi.WartaGlobal.id, menyatakan kegeramannya atas insiden ini. Ia menilai tindakan oknum kepolisian tersebut sebagai pelecehan terhadap jurnalisnya, upaya membatasi kebebasan pers, dan menghalangi jurnalis dalam mengumpulkan berita.
Melanni juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap institusi kepolisian yang dinilai seolah menutupi fakta di lapangan. "Ini adalah upaya pengalihan keadaan, karena mereka (institusi kepolisian) sebenarnya tahu isi berita yang dimaksud, tetapi mengelak," tegas Melanni.
Ia menegaskan bahwa jurnalisnya tidak akan berani menaikkan berita jika tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan bukti-buktinya. "Jurnalis saya tidak mungkin berani menaikkan berita kalau tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan bukti-buktinya, maka saya akan bertanggung jawab atas tulisan yang telah terbit tersebut," kata Melanni.
Lebih lanjut, Melanni menantang jika memang pihak kepolisian, dalam hal ini IKE atas nama institusi, merasa tidak terima dengan pemberitaan tersebut, agar mengajukan hak jawab. "Jika memang Bapak (IKE) atas nama institusi tidak terima dengan berita ini, maka saya menyarankan untuk buat hak jawab," tutup Melanni.
Sekali lagi Melanni mengingatkan untuk siapapun tanpa terkecuali untuk tidak sembarangan menghina, mengintervensi bahkan menyunat kebebasan pers karena ada undang-undangnya.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU Pers. Sanksi tersebut berupa pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.
Insiden ini kembali menyoroti pentingnya menjaga independensi pers dan memastikan tidak ada upaya-upaya yang dapat mengancam kebebasan jurnalistik dalam menyampaikan informasi kepada publik. [Mel]