
QUEENNEWS.CM.ID HALSEL – Kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang perempuan di Desa Tomori, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, menuai sorotan tajam. Dion, pria asal Surabaya yang dikenal sebagai pembeli batu Bacan, diduga menjadi pelaku kekerasan terhadap korban berinisial S.W., warga asal Tondano, Sulawesi Utara.
Peristiwa ini terjadi pada Jumat, 23 Mei 2025, sekitar pukul 10.30 WIT. Dion, yang berdomisili sementara di sebuah kos-kosan di kawasan Kafe Rama Karaoke, Desa Tomori, diduga melakukan kekerasan fisik terhadap S.W. Akibat tindakan tersebut, korban mengalami luka serta trauma, lalu melaporkannya ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Halmahera Selatan.
Laporan resmi telah diterima dengan nomor STPL/320/V/2025/SPKT dan ditangani oleh petugas KSPKT, Aipda Muhln La Impi. Namun, hingga lebih dari dua pekan sejak laporan itu masuk, belum ada penetapan tersangka atau langkah tegas dari pihak kepolisian. Korban menyampaikan kekecewaannya atas lambannya penanganan laporan yang ia nilai hanya menjadi tumpukan berkas tanpa kejelasan hukum.
“Saya berharap Polres Halmahera Selatan segera menetapkan Dion sebagai tersangka dan menahannya sesuai hukum yang berlaku. Jangan sampai hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” tegas S.W. kepada wartawan, Kamis (3/6/2025).
Desa Tomori sendiri dikenal sebagai kawasan yang cukup ramai dengan aktivitas ekonomi nonformal, termasuk perdagangan batu Bacan, kafe karaoke, dan tempat kos yang banyak dihuni oleh para pendatang dari luar daerah. Situasi ini kerap memunculkan dinamika sosial yang berisiko tinggi, terutama bagi perempuan.
Lambannya proses penyidikan juga menuai sorotan dari sejumlah aktivis perempuan dan pemerhati hukum yang mendesak Kapolres Halmahera Selatan untuk turun tangan langsung. Mereka mempertanyakan netralitas dan keseriusan aparat dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
Tindakan penganiayaan seperti yang dialami S.W. telah diatur dalam Pasal 351 KUHP, yang mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Jika mengakibatkan luka berat, ancaman hukumannya meningkat hingga lima tahun penjara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga memuat ketentuan mengenai kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit atau luka berat, meskipun relasi pelaku dan korban bukan pasangan resmi.
Dengan dasar hukum yang jelas, publik menanti ketegasan dari aparat penegak hukum. Apakah laporan ini akan segera ditindaklanjuti secara profesional, atau justru mengendap tanpa kejelasan? Keadilan harus ditegakkan bagi siapa pun korbannya, tanpa pandang bulu terhadap pelaku.
Keadilan harus ditegakkan. Jangan sampai kasus ini hanya menjadi catatan mati dalam arsip penyidik,” red