QueenNews.co.id / Bandarlampung — Sistem parkir di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung diduga mengalami kerusakan berkepanjangan hingga berdampak pada tidak tercatatnya data kendaraan yang keluar-masuk. Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya potensi kebocoran setoran pajak parkir.
Seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa sistem parkir di kampus tersebut sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya. “Parkir di UIN sistemnya rusak terus, jadi data kendaraan tidak terekam. Berarti banyak pajak parkir yang tidak disetor,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pengelolaan parkir di UIN Raden Intan dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan Cakra. Namun, menurutnya, setiap ada kegiatan besar seperti event olahraga di Sport Center kampus, sistem parkir otomatis selalu tidak digunakan dan diganti dengan pencatatan manual.
“Setiap ada event olahraga, rame di Sport Center UIN, sistemnya nggak dipakai, tetap manual. Itu dilakukan oleh perusahaan Cakra,” tambahnya.
Dari pantauan di lapangan, tarif parkir yang berlaku yakni Rp3.000 untuk kendaraan roda dua dan Rp5.000 untuk mobil pada satu jam pertama. Hingga berita ini diturunkan, pihak pengelola parkir maupun pihak kampus belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan kebocoran setoran pajak tersebut.
Upaya tim media ini untuk mendapatkan konfirmasi resmi terkait sistem parkir kampus yang rusak di kampus UIN menemui jalan buntu. Pihak administrasi kampus secara tegas menolak memberikan tanggapan, mengindikasikan adanya sikap tertutup dalam merespons pertanyaan publik.
Saat dikonfirmasi langsung oleh tim media, jajaran manajemen kampus memilih untuk enggan berbicara, tanpa memberikan penjelasan resmi mengenai alasan penolakan tersebut. Sikap ini menghambat proses verifikasi dan klarifikasi fakta yang penting untuk diketahui masyarakat, khususnya civitas akademika.
Tidak hanya dari pihak struktural, hambatan untuk mengakses informasi juga datang dari tingkat lapangan. Tim investigasi yang berusaha mencari jalur komunikasi alternatif, sempat bertanya kepada salah satu mahasiswi berinisial (Pdn) untuk mendapatkan kontak resmi Hubungan Masyarakat (Humas) kampus.
Namun, mahasiswi tersebut juga menolak memberikan bantuan. "Kontak tidak boleh di kasih sembarangan," ujar (Pdn), mengindikasikan adanya instruksi atau kebijakan ketat internal yang membatasi penyebaran informasi dan kontak resmi kampus kepada pihak luar, termasuk pers.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi institusi pendidikan tersebut dalam mengelola isu-isu internal. Keengganan pihak kampus memberikan keterangan, ditambah dengan adanya penutupan akses informasi dari staf dan mahasiswa, memperkuat dugaan bahwa isu yang diselidiki merupakan masalah yang sensitif dan sedang berusaha ditutupi dari sorotan publik.
(Tim)


