QueenNews.co.id / BANGLI — Sebuah preseden hukum bagi eksistensi Desa Adat di Bali baru saja diketuk di Pengadilan Negeri Bangli. I Wayan Karmada alias Gopel, resmi dijatuhi vonis 3 bulan penjara pada Rabu (17/12), setelah terbukti secara sah melakukan penghinaan ringan terhadap pejabat Desa Adat Tegalalang.
Namun, di balik jeruji besi yang menanti Gopel, tersimpan narasi besar tentang upaya memperkuat benteng hukum institusi tradisional Bali di mata hukum positif negara.
Konflik ini bukan sekadar urusan makian belaka. Investigasi di lapangan menunjukkan bahwa ketegangan bermula dari pelanggaran prosedur administratif desa. Berdasarkan kesepakatan sebelumnya, setiap penebangan pohon di area sakral—seperti di dekat Pura Melanting—wajib dihadiri oleh Pecalang.
Ketika Sang Ketut Rencana, selaku Kertha Desa Adat Tegalalang, turun tangan untuk menjalankan fungsinya menanyakan prosedur tersebut, ia justru mendapat serangan verbal yang merendahkan martabatnya. Ironisnya, Gopel diketahui bukan merupakan warga Desa Adat setempat, sebuah fakta yang mempertebal dugaan adanya pengabaian terhadap kedaulatan teritorial adat.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Widyastomo Isworo, S.H., M.H., dalam amar putusannya menegaskan bahwa tindakan terdakwa telah memenuhi unsur pidana penghinaan ringan terhadap pejabat pemerintahan desa adat.
"Mengadili terdakwa I Wayan Karmada secara sah dan meyakinkan... menjatuhkan pidana penjara selama 3 bulan serta menyatakan terdakwa untuk ditahan," tegas Widyastomo di Ruang Sidang Candra.
Vonis ini dibaca oleh banyak pihak sebagai pengakuan hukum negara terhadap "Taksu" dan otoritas perangkat adat. Bagi Sang Ketut Rencana, ini bukan sekadar kemenangan personal.
"Ini kemenangan bagi seluruh Desa Adat di Bali. Siapa pun yang tidak menghormati aturan desa adat, berarti tidak menghargai identitas Bali itu sendiri," ujarnya saat dikonfirmasi usai sidang.
Bendesa Adat Tegalalang, I Wayan Miarsa, menekankan bahwa integritas Prajuru (pengurus) adat adalah harga mati. Menurutnya, gangguan terhadap Pararem (aturan desa) atau pelecehan terhadap petugas adat adalah ancaman langsung terhadap marwah desa.
Meski demikian, pihak terdakwa melalui penasihat hukumnya masih menyatakan sikap "pikir-pikir" atas vonis tersebut. Hal ini menyisakan celah hukum apakah kasus ini akan berlanjut ke tingkat banding atau berakhir pada eksekusi putusan.
Kasus 'Gopel' kini menjadi cermin bagi masyarakat luas: bahwa di tanah Bali, hukum adat dan hukum negara mulai bersinergi untuk memastikan bahwa setiap jengkal tanah adat memiliki pelindung hukum yang nyata, bukan sekadar simbolis.


