QueenNews.co.id / Pesawaran — Dunia pendidikan kembali tercoreng. Seorang siswa di SMA Negeri Kedondong menjadi korban dugaan kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh oknum guru. Insiden yang terjadi pada Selasa, 30 September 2025, ini telah menimbulkan trauma mendalam pada korban, hingga berujung pada penolakan untuk kembali ke bangku sekolah.
Laporan resmi telah dibuat oleh Ismail melaui lembaga DPC AWPI Pesawaran, orang tua dari korban, yang menyatakan anaknya mengalami pemukulan oleh oknum guru. Laporan tersebut juga mengungkap kesaksian tragis dari seorang saksi mata,inisial M.R siswa kelas XI.3, yang mengalami langsung aksi kekerasan pada hari yang sama.
Berdasarkan laporan resmi yang diterima redaksi, saksi mata M.R mendeskripsikan serangkaian peristiwa kekerasan yang menimpanya. Tindakan oknum guru yang diduga bernama Bu EMI dan Bu Tuti tersebut meliputi
· Tindakan Fisik Kasar: Saksi mengalami penamparan, penjambakan, dan pencakaran.
· Pelanggaran Privasi: Terjadi perampasan dan pembukaan paksa ponsel pribadi saksi yang berisi percakapan pribadi.
· Pengancaman: Saksi juga menerima ancaman yang memperburuk kondisi psikologisnya.
Insiden ini tidak berakhir di ruang kelas. Ismail, orang tua korban, melaporkan bahwa anaknya mengalami trauma psikis yang serius. "Anak saya menangis dan tidak mau kembali ke sekolah," ungkapnya dalam laporan tertulisnya, menggambarkan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh peristiwa ini.
Tindakan oknum guru tersebut diduga kuat telah melanggar Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam penjelasannya, Ismail menegaskan bahwa aturan ini mengancam pidana penjara dan denda bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Selain itu, tindakan ini juga dinilai telah melanggar Kode Etik Guru, khususnya prinsip etika terhadap peserta didik.
Merujuk pada kasus kekerasan terhadap anak lainnya, proses hukum bagi pelaku dapat berjalan. Seperti dalam sebuah kasus di Pasuruan, pelaku kekerasan pada anak dapat dijerat dengan Pasal 80 Ayat (3) jo. 76C UU Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) juga dikenal aktif mendorong proses hukum yang berkeadilan bagi korban kekerasan anak.
Di sisi kebijakan pendidikan, upaya pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah semakin digencarkan. Satuan pendidikan didorong untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). TPPK ini bertujuan memastikan adanya respon cepat ketika terjadi kekerasan di satuan pendidikan, menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, dan aman bagi semua.
Sebagai bentuk perlawanan dan upaya memperoleh keadilan, Ismail selaku orang tua korban telah menyampaikan permohonan resmi kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Permohonan tersebut meminta tiga hal krusial:
1. Investigasi Mendalam terhadap insiden ini.
2. Sanksi Disiplin Tegas sesuai peraturan bagi oknum guru yang terbukti bersalah.
3. Pemastian Lingkungan Belajar yang aman dan nyaman bagi seluruh siswa, bebas dari segala bentuk kekerasan.
Laporan ini dilengkapi dengan surat pernyataan dari saksi untuk mendukung proses investigasi. Harapan besar dari keluarga korban adalah agar laporan ini ditindaklanjuti dengan serius untuk keadilan dan perlindungan anak-anak Indonesia.(Maung).