“Kebijakan ‘Wajib PWI’ Berpotensi Langgar UU Pers dan HAM”

Publisher
0

QueenNews.co.id / SWI / JAKARTA – Pernyataan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid yang menyebut pemerintah daerah “wajib” bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menuai kritik tajam dari berbagai kalangan pers nasional, Sabtu (04/10/2025). 


Pernyataan itu dinilai menyalahi asas kebebasan pers dan berpotensi menciptakan dikotomi organisasi profesi wartawan di Indonesia.


Diksi ‘Wajib’ Dinilai Menyulut Polemik


Plt. Ketua Umum Sekber Wartawan Indonesia (SWI), Ir. Herry Budiman, menilai penggunaan diksi “wajib” oleh Menteri Komdigi justru memperlihatkan potensi intervensi pemerintah terhadap kemerdekaan organisasi pers, Minggu (05/10/2025).


“Diksi ‘wajib’ itu bersifat memerintah. Masa pemerintah justru membangun dikotomi di antara organisasi profesi wartawan? Ini berbahaya bagi demokrasi pers,” tegas Herry, yang juga menjabat Sekjen SWI.


Menurutnya, pemerintah semestinya menjadi fasilitator, bukan regulator yang hanya mengarahkan satu organisasi tertentu.


Langgar Hak Berserikat dan Kebebasan Berorganisasi


Secara konstitusional, hak kebebasan pers dan berorganisasi dijamin oleh Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan setiap orang berhak untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, serta berserikat secara bebas.


Dengan demikian, arahan yang bersifat “wajib” kepada Pemda untuk hanya bekerja sama dengan satu organisasi wartawan dapat dipandang bertentangan dengan prinsip non-diskriminatif.


“Negara tidak boleh memonopoli pembinaan atau akses kerja sama hanya kepada satu wadah profesi. Itu bisa menciptakan diskriminasi terhadap organisasi pers lain seperti AJI, IJTI, SMSI, atau SWI,” ujar Kostaman, S.H., Pimpinan Redaksi Berita Top Line yang juga seorang praktisi hukum.


Kritik dari Akademisi dan Tokoh Pers


Sementara itu, Imam Suwandi, S.Sos., M.I.Kom., Kabid Diklat & Litbang DPP SWI, menilai kebijakan semacam itu justru bisa menciptakan “gap” antarorganisasi wartawan.


“Ada organisasi pers yang pro dan kontra terhadap pemerintah. Jika pernyataan seperti ini dibiarkan, maka akan muncul persepsi baru bahwa hanya satu organisasi yang diakui pemerintah. Ini bisa jadi ‘kenormalan baru’ yang berbahaya bagi kebebasan pers,” ujarnya.


Imam juga mendorong Dewan Pers agar bersikap tegas dan memberikan klarifikasi terhadap pernyataan Komdigi tersebut agar tidak menimbulkan multitafsir di lapangan.


Pendiri SWI: Potensi Tipikor dan Pelanggaran Etika Publik


Kritik lebih keras disampaikan oleh Maryoko Aiko, pendiri Sekber Wartawan Indonesia (SWI). Ia menilai pernyataan Menteri Komdigi itu “ugal-ugalan” dan berpotensi menimbulkan implikasi hukum.


“Sebagai pejabat publik, seorang menteri harus memahami batas kewenangan. Jika Pemda diarahkan ‘wajib’ menjalin kerja sama hanya dengan PWI, maka bisa timbul potensi pelanggaran hukum seperti penyalahgunaan wewenang atau bahkan indikasi Tipikor, karena mengarahkan anggaran hanya ke satu pihak,” tegas Maryoko.


Menurutnya, kerja sama dengan organisasi wartawan adalah hal yang sah, tetapi pemerintah harus netral dan membuka ruang bagi semua organisasi yang memiliki legalitas jelas, baik konstituen Dewan Pers maupun non-konstituen yang sah secara hukum.


Pemerintah Harus Menjadi Penjamin, Bukan Pengarah


Para tokoh pers menegaskan bahwa tugas pemerintah bukan menentukan siapa yang layak diajak bekerja sama, melainkan menjamin kebebasan pers tetap tegak sesuai amanat undang-undang.


“Pers itu pilar demokrasi, bukan bawahan kekuasaan. Pemerintah seharusnya mendorong kolaborasi lintas organisasi, bukan menutup ruang bagi yang lain,” kata Kostaman.


Ia menambahkan, pembinaan pers tidak boleh eksklusif, sebab kemerdekaan pers merupakan hak publik yang dijamin negara, bukan hak istimewa organisasi tertentu.


Penguatan Kedaulatan Pers Nasional


Dalam pernyataan sikapnya, SWI menegaskan pentingnya menjaga kedaulatan pers nasional dengan prinsip profesionalisme, akurasi, dan verifikasi, bukan monopoli atau sentralisasi organisasi.


“Kerja sama boleh, tapi bukan dalam bentuk kewajiban tunggal. Pers harus berdiri sejajar dengan pemerintah, bukan di bawahnya,” tutup Herry Budiman.


Langkah penegasan sikap ini diharapkan menjadi pengingat bahwa kemerdekaan pers adalah milik seluruh insan pers Indonesia, bukan milik satu organisasi. Pemerintah sebaiknya menjadi penjamin keberagaman, bukan penentu arah tunggal.


Redaksi Berita Top Line menilai bahwa narasi “wajib kerja sama dengan PWI” perlu segera diluruskan agar tidak menimbulkan preseden buruk dalam ekosistem pers nasional.

Kebijakan yang adil dan konstitusional harus berlandaskan UU Pers No. 40/1999, UUD 1945 Pasal 28F, dan prinsip non-diskriminatif sebagaimana tertuang dalam UU HAM No. 39/1999.


Penguatan kedaulatan pers sejati hanya dapat diwujudkan melalui kolaborasi lintas organisasi, bukan pengutamaan satu wadah semata.


Indonesia membutuhkan pers yang bebas, berdaulat, dan berkeadilan — bukan pers yang tunduk pada kekuasaan.


.#Stetmen Menkomdigi

#Ciderai Insan Pers

#SekberWartawanIndonesia


(Red*/HUM SWI)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!