QueenNews.co.id / BANDARLAMPUNG, Rabu 26 November 2025 — Dugaan penyimpangan serius pada proyek infrastruktur pemerintah kembali mencuat. Gelontoran dana puluhan miliar rupiah untuk Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Bandarlampung kini menjadi sorotan tajam dua lembaga kontrol sosial, Restorasi untuk Kebijakan (Rubik) dan Gerakan Masyarakat Bongkar Korupsi (Gembok).
Aksi unjuk rasa yang digelar di halaman balai pada Rabu, 26 November 2026, bukan hanya menyoroti kualitas fisik bangunan yang baru berusia satu tahun namun telah dinilai "tidak layak," tetapi juga mempertanyakan legalitas proses pengadaan proyek vital yang menelan anggaran fantastis.
Rubik dan Gembok menyoroti serangkaian pengadaan yang mencakup Pengadaan Sarana, Anggaran Bahan Penguji Fasilitas PNBP, hingga Belanja Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Kantor. Meskipun terdapat nilai kontrak yang tercatat sebesar Rp 25.833.038.867, fokus investigasi diarahkan pada pembangunan krusial Gedung Laboratorium Penyakit Hewan dan Zoonosis di Wilayah Barat Indonesia.
Proyek pembangunan gedung senilai Rp 15.005.770.000, dengan kode paket 20708212, diserahkan kepada PT Karya Kamefada Wijaya Indonesia justru melalui mekanisme non-tender.
Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, proyek dengan nilai di atas Rp 200 juta (untuk pekerjaan konstruksi) wajib dilakukan melalui proses tender/lelang terbuka untuk menjamin akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. Metode non-tender atau Penunjukan Langsung hanya diperbolehkan dalam kondisi khusus yang sangat terbatas dan harus dibuktikan secara kuat, seperti keadaan darurat atau penyedia tunggal yang memiliki keahlian eksklusif.
"Nilai Rp 15 miliar itu adalah proyek besar. Melaksanakannya secara non-tender patut dipertanyakan dasar hukumnya. Apakah ada alasan mendesak, ataukah ini merupakan upaya memuluskan kepentingan tertentu yang terhindar dari pengawasan publik?" tegas Feri Rubik dalam orasinya, menukilkan dugaan penyalahgunaan wewenang.
Ironi terlihat pada kualitas fisik, Andre, Ketua Gembok, menyebut bahwa bangunan yang sedianya menjadi fasilitas vital untuk kesehatan hewan di wilayah barat Indonesia "tidak tampak sesuai anggaran" terlihat jelas hanya dengan pengamatan kasat mata.
Dugaan kejanggalan ini diperkuat oleh pengakuan Pejabat Pembuat Komitmen Teknis (PPTK) Balai Veteriner Regional III Bandarlampung, Sinang B. Ia membenarkan adanya pemutusan kontrak dengan rekanan pertama menjelang akhir tahun anggaran.
"Kami sudah mencairkan jaminan pelaksana sebesar Rp 800 juta. Namanya kontrak, kalau penyedia wanprestasi, ya kami melakukan pemilihan ulang," jelas Sinang B, menanggapi sorotan publik.
Namun, Rubik dan Gembok melihat pemutusan kontrak dan pemilihan ulang yang tergesa-gesa ini sebagai indikasi upaya Balai Veteriner untuk menutupi masalah dengan mengejar penyelesaian proyek tepat waktu, terlepas dari standar kualitas akhir yang dipersyaratkan.
Dalam pembelaannya, Sinang B mencoba menangkis tuduhan dengan menyebut bahwa proyek pembangunan ini "spesial dipantau" oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), Kejaksaan Tinggi (Kejati), dan Kejaksaan Negeri (Kejari), bahkan mengklaim aparat penegak hukum (APH) tersebut ikut turun langsung mengawasi.
Bagi Rubik dan Gembok, pernyataan PPTK ini justru mencium adanya upaya "cuci tangan" atau pengalihan tanggung jawab. Keterlibatan APH dalam pengawasan seharusnya menjamin kualitas dan prosedur yang benar, bukan menjadi excuse atas hasil yang buruk dan proses non-tender yang dipertanyakan.
Atas dasar temuan tersebut, Rubik dan Gembok mendesak APH untuk segera mengusut tuntas dugaan penyimpangan ini. Jika terbukti terjadi penyalahgunaan anggaran negara, tindakan tersebut dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
"Kami menuntut Kejati dan APH segera bertindak. Kami menyerukan kepada seluruh media dan NGO untuk terus bersama-sama memantau dan mengaudit seluruh kegiatan serta anggaran ini. Masyarakat berhak atas transparansi dan fasilitas yang layak sesuai amanah undang-undang," tutup Feri, menegaskan komitmen mereka untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas.(Mel*/)


